Ad Code

Responsive Advertisement

Ibadah Puasa Melatih Kepekaan Kita

"Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati."
(QS. Al-Baqarah [2]: 262)

Suara tangis anak kecil terdengar begitu jelas dari sebuah rumah tua. Berkali-kali anak kecil itu menangis, kemudian diam dan menangis lagi. Ibunya mencoba mendiamkan dengan berkata: “Sabar ya nak, sebentar lagi… sekarang tidur dulu ya!” Kata-kata itu berkali-kali diucapkan sang ibu ketika anaknya terbangun dan menangis. Tiba-tiba dari luar terdengar seseorang mengetuk pintu dan memberi salam. Sang Ibu menjawab salam dan membuka pintu, tampak berdiri di depan pintu seorang laki-laki memikul satu karung gandum yang kemudian diletakkan di depan sang Ibu. Laki-laki itu berkata: “ini ada sedikit gandum, masakkan untuk anakmu! Kemudian laki-laki itu pergi, hilang di tengah kegelapan. Rupanya laki-laki itu sudah lama memperhatikan apa yang terjadi di rumah itu. Dia juga melihat bagaimana sang Ibu tadi memasak beberapa bongkah batu untuk membuat anaknya tenang dan tertidur.


Inilah sosok Umar bin Khaththab r.a., pemimpin yang telah diakui kehebatannya. Umar bin Khaththab dikenal sebagai orang yang cerdas, keras dan tegas. Islam mencapai kemajuan yang pesat di bawah kepemimpinannya, beliau memiliki kepekaan sosial yang tinggi. Pembentukan Baitul Mal adalah inisiatif dari beliau.

Ramadhan adalah momen yang tepat untuk memupuk potensi kepekaan manusiawi kita, yang mungkin telah terkubur selama sebelas bulan, bahkan mungkin bertahun-tahun. Pada dasarnya semua manusia mempunyai potensi di untuk bersifat dengan sifat-sifat yang baik (asma’ul husna). Allah berfirman: Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan) (QS. Al-A’raf [7]: 172).

Potensi ketuhanan telah tertanam dalam setiap diri manusia, sekalipun ia adalah seorang atheis. Oleh karena itu di dalam jiwa setiap manusia pada hakikatnya terdapat cahaya dari 99 sifat yang dimiliki oleh Allah SWT. maka pantaslah, ketika para sahabat betanya kepada Aisyah, bagaimanakah akhlak Rasulullah, Aisyah menjawab, “akhlak beliau adalah Alqur’an”.

Ar-Rahman dan ar-Rahim (Yang Maha Pengasih dan Yang Maha Penyayang) adalah sifat Allah. Kedua sifat ini juga diberikan kepada manusia, walaupun sering dilupakan oleh manusia sendiri. Sifat-sifat yang lain seperti ar-Raziq (dermawan) dan al-‘Adil (adil) juga dimiliki oleh manusia, tetapi mengapa sifat-sifat itu tidak muncul?

Di dalam jiwa manusia terdapat belenggu-belenggu yang menyebabkan sifat-sifat baik tersebut (suara hati) sulit dikeluarkan. Di antara yang menjadi belenggu tersebut adalah apa yang dibaca, prasangka negatif, prinsip hidup, pengalaman, kepentingan, sudut pandang dan pembanding (Ary Ginanjar Agustiar, 2005). Untuk mengeluarkan sifat-sifat baik tersebut, semua yang menjadi belenggu tersebut harus dihilangkan.

Ketika kita berhenti di lampu merah, sering kita melihat anak-anak kecil yang mengamen dan berlarian menghampiri kita, mengharap belas kasihan kita sambil menyanyikan sebuah lagu. Apabila kita berprasangka positif, kita akan mudah saja memberikan anak itu sejumlah uang. Tetapi apabila kita berprasangka negatif, “untuk apa kita berikan, mungkin hanya akan digunakan untuk main-main, hura-hura dan sebagainya”. Lalu ia membenarkan prasangka-prasangka negatif tersebut, maka mereka pun tidak akan memberi. Ia tidak menyadari bahwa itulah belenggu yang merupakan penyakit dalam jiwanya. Akibatnya sifat dermawan yang dimiliki tertutupi. Begitu juga dengan faktor yang lain, tanpa disadari ia akan menjadi penyakit hati. "Kemudian hati mereka menjadi keras bagaikan batu, bahkan lebih keras". (QS. Al-Baqarah [2]: 74).

Berpuasa bukan sekedar menahan diri dari makan, minum dan berhubungan suami-istri di sing hari, tetapi lebih dari itu, puasa harus mampu melatih kepekaan kita terhadap kesulitan orang lain. Ketika kita terbiasa mendapatkan kenikmatan dan kesenangan, biasanya kita akan mampu merasakan kesulitan orang lain. Di Bulan Ramadhan kita sanggup berpuasa, menahan diri dari makan, dan minum yang mungkin kita tidak sanggup menahannya di bulan-bulan yang lain. Mengapa kita mampu melakukannya? itu disebabkan karena kita mempunyai potensi untuk itu. Oleh karena itu di bulan Ramadhan ini kita harus berusaha dengan segenap tenaga untuk mengeluarkan semua potensi yang ada dalam diri kita masing-masing, bebaskan jiwa dari belenggu-belenggu yang negatif.

Lapar dapat melatih kita untuk merasakan bagaimana pedihnya para fakir miskin yang kelaparan, bahkan kadang-kadang berhari-hari mereka tidak makan. Selaian berpuasa kita juga harus membiasakan diri untuk hidup bersama orang-orang yang sedang dalam kesulitan atau sedang ditimpa musibah, bergaul dengan orang miskin, sehingga kita juga merasakan bagaimana sulitnya hidup mereka, dengan demikian hidup kita akan lebih mempunyai makna, bukan sekadar untuk diri kita sendiri, tetapi juga untuk orang lain.

Oleh karena itu, peluang yang diberikan oleh Allah SWT di bulan ini harus dapat kita gunakan sebaik-baiknya. Karena tidak semua orang diberi kesempatan dua kali. Mungkin kita termasuk orang-orang yang beruntung diberi kesempatan untuk kembali memperbaiki bekal kita kembali ke hadhirat-Nya. Amalan-amalan ritual peribadatan harus kita iringi dengan amalan sosial, terutama bersedekah. Ia, selain merupakan amalan yang sangat disukai oleh Rasulullah SAW di bulan Ramadhan, juga merupakan suatu bentuk kepedulian kita sebagai umat Islam terhadap sesama. Rasul SAW bersabda sebaik-baik sedekah adalah sedekah pada bulan Ramadhan (HR. Al-Baihaqi, Al-Khatib dan Turmudzi). Pada dasarnya Islam mengajarkan bagaimana kita selalu peka terhadap penderitaan orang lain melalui amalan sedekah.

Mulailah memberi sedikit makanan berbuka untuk tetanggga, memberi makan anak yatim, membantu fakir miskin, dan membantu siapapun tanpa pandang bulu dengan ikhlas, ringan, dan tanpa ada sedikitpun rasa keberatan. Insya Allah, dengan begitu, hati kita akan selalu terbuka dan peka terhadap penderitaan orang lain, siapapun dia. Bukan hanya pada bulan ini, akan tetapi juga pada sebelas bulan lainnya. Semoga bulan Ramadhan ini menjadi bulan berkah dan maghfirah serta membawa hidayah bagi kita semua. Amin.

Posting Komentar

0 Komentar